MASJID TUA BUNGKU
Dalam sejarah diceritakan, seorang
Musafir dari tanah Johor semenanjung Malaya (malaysia-red), Syaikh Maulana
Ibrahim, dalam pengembaraanya menyebarkan Islam, sampailah ia di tanah Bungku
sekitar tahun 1470-an Masehi. Takdir Allah Swt mempertemukannya dengan dua
tokoh pemerintah kerajaan Bungku. Pertemuan itu terjadi di puncak bukit Fafon
Sandeenga. Mereka kemudian bersepakat untuk menyebarkan risalah Rasulullah Saw
di Tanah Bungku. Penyebaran Islam dikemudian hari menjadi mudah, Sangiang
Kinambuka (Raja Bungku) menerima dakwah ini dan menjadi pemeluk Islam.
Masyarakat yang berdiam di sekitar benteng kerajaan pun serta merta memeluk
Islam. Kemudian membangun masjid pertama, di situs Benteng kerajaan Bungku.
Seiring berjalannya waktu, di tahun 1835 M, raja Bungku ke VII Muhammad Baba (peapua le fifi rombia) berinisiatif memperluas dan merenovasi masjid dengan memindahkan ke lokasi yang lebih strategis dekat pelabuhan laut. Jadilah masjid baru ini sebagai masjid kedua. Material masjid di pindahkan dari situs benteng ke lokasi yang sekarang (marsaoleh). Arsitek Pengerjaan renovasi masjid dipercayakan kepada Merodo atau yang dikenal sebagai sangaji tuka, seorang tukang kayu dari One ete, yang masih punya pertalian darah sebagai bangsawan kesultanan ternate. Setelah setahun pengerjaannya tepat pada tahun 1836 Masjid ini berdiri megah, sebagai hasil gotong royong masyarakat Bungku.
Seiring berjalannya waktu, di tahun 1835 M, raja Bungku ke VII Muhammad Baba (peapua le fifi rombia) berinisiatif memperluas dan merenovasi masjid dengan memindahkan ke lokasi yang lebih strategis dekat pelabuhan laut. Jadilah masjid baru ini sebagai masjid kedua. Material masjid di pindahkan dari situs benteng ke lokasi yang sekarang (marsaoleh). Arsitek Pengerjaan renovasi masjid dipercayakan kepada Merodo atau yang dikenal sebagai sangaji tuka, seorang tukang kayu dari One ete, yang masih punya pertalian darah sebagai bangsawan kesultanan ternate. Setelah setahun pengerjaannya tepat pada tahun 1836 Masjid ini berdiri megah, sebagai hasil gotong royong masyarakat Bungku.
Masjid ini memiliki menara yang
berdiri 25 meter dari permukaan tanah, dikenal sebagai menara alif yang
berarti tauhid (keesaan) Allah, sumber sejarah menceritakan dulunya
menara alif ini terpasang simbol bulan bintang. Dengan luas mencapai
20x13 meter, masjid ini mampu menampung seratus lebih jamaah. Konon tegel
(lantai) yang digunakan saat itu dikirim dari singapura, dindingnya terbuat
dari beton terdiri dari susunan batu kapur,yang direkatkan dengan menggunakan
putih telur dan getah kayu waru dan bahan-bahan lainnya. Sekilas bangunan ini
mengikuti arsitektur masjid yang populer di masa itu, bisa di bandingkan dengan
masjid tua kesultanan demak,masjid tua kesultanan Buton dan ternate, dengan
atap yang bersusun lima yang memilki makna Rukun Islam.
Pada tahun 1936 -1937 atas inisiatif
raja Bungku ke XII areal masjid ini mengalami perluasan. Masjid ini dipimpin
seorang kale atau berarti Imam besar. Keaslian masjid tua Bungku yang
sekarang masih banyak yang dipertahankan,termasuk kombinasi warna kuning
dan hijau baik pada kayu maupun pewarnaan pada terali besi dan ornamen-ornamen
lainnya. Namun sayangnya atap masjid tua tidaklah menggunakan seng pada waktu
itu, tetapi menggunakan atap daun sagu (ato rombia). Mimbar khatib yang ada
sekarang adalah peninggalan asli dari situs pertama masjid yang ada di benteng
Bahontobungku.
Di tahun 1972 masjid tua yang diberi
nama Baiturrahim ini dipensiunkan, karena konstruksinya dianggap tidak
aman. Masyarakat setempat bermufakat untuk membangun masjid baru bernama
Baiturrahman, yang sekarang menjadi Masjid Raya kec. Bungku tengah. Sejak
itu masjid bersejarah ini hanya menjadi bangunan tua yang terabaikan. Pada
Tahun 1992-1994 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala
pada Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
melakukan Pemugaran menyeluruh untuk menjaga keutuhan situs ini.
Untuk saat ini Masjid Tua
baiturrahim kembali dipergunakkan, menunggu selesainya pembangunan Masjid raya
Kabupaten Morowali (Islamic Centre) yang direncanakan selesai pada tahun
2012. Pada hari-hari tertentu seperti jumat Masjid ini terasa begitu
sempit saat jamaah membludak. Sebagai jalan keluar, pengurus masjid mengambil
keputusan memperluas dan menambah bangunan beranda di depan situs masjid yang dilindungi
ini. Bahkan Sumur dan bak penampungan yang menjadi bagian menyatu dengan cagar
budaya ini telah berubah bentuk menjadi tempat wudhu dan toilet seperti yang
terlihat sekarang ini.
Situs Masjid Tua ini merupakan cagar
budaya yang dilindungi Undang-undang No 5 tahun 1992, ancaman hukuman bagi yang
merubah bentuk, memindahkan atau merusak cagar ini sangat berat, diancam
kurungan badan 10 tahun dan denda 100 juta rupiah (Pasal 15 UU No 5
1992). Keputusan untuk menambah dan berakibat perubahan sebagian bentuk
(bagian depan halaman) dari situs ini terpaksa di ambil oleh pengurus masjid,
demi kenyamanan para jamaah yang shalat di masjid ini, karena rencananya masjid
ini akan tetap digunakan walaupun masjid raya baru telah selesai
pembangunannya.
Rumah Raja Bungku
Disebelah situs ini juga
terdapat peninggalan sejarah lainnya yaitu Situs Rumah Raja,
dan Makam Raja Bungku , Sesekali anda meluangkan waktu berkunjung ke Masjid
ini, dan rasakan dalamnya pengembaraaan spritual sambil menyelami kehidupan
religi para pendahulu tanah Bungku. Siapa tahu melahirkan inspirasi dalam
pencarian kehidupan spritual anda. (sumber Depdagri 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar